Selasa, 26 Juli 2016

KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENGUJI KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI RI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH


A. LATAR BELAKANG

Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2015 yang telah berlalu ternyata masih menyisahkan beberapa catatan perseoalan yang tak kunjung selesai bagi pasangan calon kepala daerah yang merasa belum memperoleh keadilan dan kepastian hukum. Hal ini terbukti dari fakta perkara-perkara yang sedang ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dimana sekitar belasan pasangan calon kepala daerah dari berbagai wilayah di Indonesia yang mengikuti pilkada tahun 2015 mengajukan gugatan terhadap Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri) yang mengeluarkan surat keputusan (SK) pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Permasalahan yang timbul bagi para pasangan calon kepala yang mengajukan gugatan tersebut yakni respon Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang menggunakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, untuk menyatakan tidak menerima gugatan yang diajukan tersebut dengan alasan bahwa pengadilan tata usaha negara tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan tersebut.

Atas permasalahan tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 maka para pasangan calon kepala daerah tersebut mengajukan gugatan perlawanan atas penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut.

B.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan hukum yang ingin dikaji oleh penulis dalam penulisan ini yakni apakah Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah ?

C.  PEMBAHASAN

1.       SK MENDAGRI TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KONTEKS  SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Pengertian sengketa tata usaha negara berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yakni dikutip sbb :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sengketa tata usaha negara terdiri dari unsur-unsur, sbb :

1.       Pihak yang bersengketa yakni orang atau badan hukum perdata selaku Penggugat melawan badan atau pejabat tata usaha negara dan
2.       Yang menjadi objek sengketa yakni keputusan tata usaha negara.
Unsur sengketa tata usaha negara tersebut apabila dihubungkan dengan fakta gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah terhadap SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka unsur pertama berupa pihak yang bersengketa telah terpenuhi karena Penggugat adalah pasangan calon kepala daerah yang merupakan subjek hukum orang, sedangkan Mendagri sebagai Tergugat adalah pejabat tata usaha negara. Sebagaimana diketahui pengertian Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yakni badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari aspek objek sengketa berupa SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, dapat disimpulkan bahwa SK tersebut merupakan keputusan tata usaha negara karena memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 yang dikutip, sbb :
“Keputusan Badan atau Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan keputusan tata usaha negara yang bersifat kongkret kongkret karena keputusan tersebut benar-benar nyata tertulis dan tidak bersifat abstrak. Di sisi lain SK Mengadri tersebut bersifat individual, karena dalam keputusan tersebut jelas diperuntukkan kepada nama yang tertera dalam keputusan tersebut. Adapun SK Mendagri tersebut bersifat final, karena SK tersebut  telah menimbulkan akibat hukum dan tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut.

Bahwa sebagaimana diketahui dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 juga memberikan pengecualian tentang sebuah keputusan tata usaha negara yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara yakni sbb :

1.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.       Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.       Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.       Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.       Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum

Bahwa dari ketujuh pengecualian tersebut, maka yang terkait dengan pilkada yakni Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Tentunya ketentuan tersebut apabila dihubungkan dengan gugatan yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah tersebut maka sangat jelas bahwa yang menjadi objek sengketa adalah SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, bukan keputusan panitia pemilihan (KPU). Dengan demikian maka objek sengketa tersebut bukanlah jenis keputusan yang dikecualikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut.
Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

2.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN

Uraian ini perlu dikaji oleh penulis mengingat dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 153 dan Pasal 154 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, maka pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara pemilihan yakni ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta setelah seluruh upaya administratif di bawaslu Propinsi dan/atau Panwas Kabupaten Kota telah dilakukan.

Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dikutip, sbb :

Pasal 153
Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilihan antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengertian sengketa tata usaha negara pemilihan yakni :

1)      Sengketa antara antara Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota dengan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota

2)      Objek sengketa adalah Keputusan KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota.


Dengan demikian maka apabila yang digugat adalah  SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah, maka sengketa tersebut bukan merupakan sengketa tata usaha negara pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, karena Tergugat dalam perkara tersebut bukan KPU dan objek sengketa dalam perkara tersebut bukan surat keputusan KPU.

Berdasarkan analisa tersebut di atas maka SK Mendagri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah merupakan SK yang dapat disengketakan di pengadilan tata usaha negara.

3.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN TAHAPAN PILKADA

Bahwa adapun dalam salah satu pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, pada pokoknya menyatakan objek sengketa (SK Menteri Dalam Negeri tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah) adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri RI mengenai rangkaian proses pemilihan Kepala Daerah Tahun 2015 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 jo Undang-Undang No, 8 Tahun 2015;

Menanggapi pertimbangan tersebut, penulis berpandangan bahwa secara hukum rangkaian tahapan proses pilkada telah diatur dalam Pasal 5  Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 yang dikutip sbb :

“(1) Pemilihan diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan  tahapan penyelenggaraan.

  (2) Tahapan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a.      perencanaan program dan anggaran;
b.      penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;
c.       perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;
d.      pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;
e.       pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;
f.        pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan; dan
g.      penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih.

 (3) Tahapan penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      pendaftaran bakal Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
b.       Uji Publik;
c.       pengumuman pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
d.      pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
e.       penelitian persyaratan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
f.        penetapan Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota;
g.      pelaksanaan Kampanye;
h.      pelaksanaan pemungutan suara;
i.         penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;
j.        penetapan calon terpilih;
k.       penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan
l.        pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka tahapan akhir dari rangkaian proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh KPU, yakni sampai pada “pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih”.

Dengan demikian maka tindakan pengesahan dan pengangkatan kepala daerah adalah rangkaian terpisah yang menjadi kewenangan mutlak Menteri Dala Negeri dengan memperhatikan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh karenanya apabila dalam penerbitan SK pengesahan dan pengangkatan kepala daerah, mendagri mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka SK tersebut dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

4.       SK MENTERI DALAM NEGERI (MENDAGRI) TENTANG PENGANGKATAN DAN PENGESAHAN KEPALA DAERAH DALAM KAITANNYA DENGAN YURISPRUDENSI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA

Bahwa berdasarkan penelusuran penulis maka terdapat beberapa yurisprudensi dari perkara-perkara gugatan perlawanan yang pernah diperiksa dan diputus di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dengan amar pada pokoknya yakni membatalkan penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan menyatakan pengadilan tata usaha negara berwenang memeriksa dan mengadili SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

Adapun yurisprudensi tersebut yakni :

a.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 09/PLW/2012/PTUN-JKT, tanggal 17 April 2012; dalam perkara Pilkada Kabupaten Mesuji antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

b.      Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 146/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 8 November 2011 dalam perkara Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

c.       Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 161/PLW/2011/PTUN-JKT, tanggal 6 Desember 2011; dalam perkara Pilkada Kabupaten Keerom antara salah satu pasangan calon melawan Menteri Dalam Negeri.

Dengan demikian, maka demi kepastian hukum dan sesuai dengan asas hukum similia similiabus yang pada pokoknya menyatakan bahwa perkara yang sama (sejenis) harus diputus sama (serupa) pula, maka sudah selayakna Pengadilan Tata Usaha Negara Jakara memeriksa dan memutus sengketa pengujian atas SK Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.

D. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang menguji keputusan Menteri Dalam Negeri RI tentang pengangkatan dan pengesahan kepala daerah.


Meskipun demikian, agar tidak menimbulkan tumpang tindih kewenangan maka Pengadilan Tata Usaha Negara juga harus selektif memeriksa alasan-alasan gugatan yang diajukan dimana apabila alasan-alasan gugatan berkaitan dengan kesalahan perhitungan suara atau kecurangan-kecurangan dalam pilkada yang mana menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka pengadilan Tata usaha negara harus menyatakan tidak menerima gugatan tersebut.

Selasa, 24 November 2015

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM ARBITER TERHADAP TUNTUTAN HUKUM PARA PIHAK YANG BERSENGKETA TERKAIT DENGAN TINDAKANNYA SELAMA MEMERIKSA DAN MEMUTUS SENGKETA ARBITRASE


1.       Latar Belakang

Tulisan ini didasarkan pada pengalaman saya dalam membela klien saya yang merasa dirugikan akibat tindakan Majelis Arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa di salah satu lembaga arbitrase. Dalam mengadili perkara tersebut Majelis Arbiter diduga beritikad buruk dengan menolak melakukan pemeriksaan lokasi objek sengketa serta mejatuhkan putusan dengan pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dan pertimbangan yang bertentangan dengan hukum.


2.       Rumusan Masalah

Berdasarkan kasus tersebut, maka permasalahan hukum yang akan coba saya kaji dalam tulisan ini adalah apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum terkait dengan tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase ?


3.       Pembahasan

Ketentuan umum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui arabitrase di Indonesia  yakni sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif  Penyelesaian Sengket (selanjutnya disebut “UU No. 30 Tahun 1999”).

Terkait dengan hubungan hukum antara arbiter dan para pihak yang bersenketa serta kewajiban arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999, yang dikutip, sbb :

“1.   Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diteriamnya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan, terjadi perjanjian perdata.
2.    Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan  yang berlaku dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjikan bersama”

Dari ketentuan Pasal 17 tersebut maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Hubungan hukum antara arbiter dan pihak yang bersengketa yakni bersifat keperdataan karena arbiter tersebut dipilih dan ditunjuk oleh para pihak. Hal mana berbeda dengan hakim yang merupakan pejabat Negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung (vide Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009)

b.      Hubungan keperdataan tersebut menimbulkan kewajiban bagi arbiter agar memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Terkait dengan pertanggungjawaban hukum arbiter atas segala tindakan yang diambil selama persidangan dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999 tersebut dikuti sbb :

“Arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”

Berdasarkan Pasal 21 tersebut, maka disimpulkan bahwa pada prinsipnya Arbiter atau Majelis Arbiter tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum apapun selama menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter.

Meskipun demikian,  frase “kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut, memberikan kesempatan kepada para pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan tuntutan hukum apabila arbiter tersebut beritikad buruk dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter.

Dalam penjelasan Pasal 21 UU No. 30 tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk dari itikad buruk tersebut itikad buruk, namun pengertian itikad buruk (bad faith) dapat kita temukan dalam Black’s Law Dictionary Seventh Edition, halaman 134, yang sebagai berikut:

“A complete catalogue of types of bad faith is impossible, but the following types are among thouse which have been recognized in judicial decisions: evasion of the spirit of the bargain lack of diligence and slacking off, willful rendering of imperfect performance, …dst”

Berdasarkan Black’s Law Dictionary tersebut maka salah satu bentuk itikad buruk (bad faith), adalah “willful rendering of imperfect performance” atau sengaja bertindak secara tidak professional (terjemahan bebas).

Bentuk dari tindakan arbiter yang tidak professional menurut penulis yakni diantaranya :
a.       Tidak melaksanakan tindakan yang sepatutnya dilakukan guna mencari kebenaran atas pokok permasalahan yang disengketakan seperti melakukan sidang pemeriksaan lokasi;
b.      Membuat pertimbangan hukum yang bertentangan satu sama lain dalam putusannya;
c.       Memutus tidak berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.

Bahwa adapun sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata juga memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lain tersebut. Kualifikasi perbuatan melawan hukum berdasarkan yurisprudensi dan doktrin yakni tidak hanya terbatas pada pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan lebih daripada itu (vide Setiawan dalam Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003, halaman 28), yakni:

a.      Melanggar hak subjektif orang lain;
b.      Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c.       Melanggar kaedah tata susila;
d.      Bertentangan dengan kaedah kesusilaan dan kepatutan dalam masyarakat.

Oleh karena tindakan seseorang yang bertentangan dengan kewajibannya, dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum sehingga apabila tindakan tersebut membawa kerugian kepada pihak lainnya, maka memungkinkan pihak yang dirugikan tersebut untuk mengajukan tuntutan hukum.

Dalam kaitannya dengan tindakan arbiter, maka sebagaimana diuraikan diatas bahwa Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kewajiban hukum kepada arbiter untuk memutus sengketa para pihak secara jujur, adil dan sesuai ketentuan yang berlaku. Kewajiban arbiter tersebut juga tercantum dalam ketentuan, sbb :

a.      Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang antara lain dikutip sbb :

“Dalam hal Arbitrase tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim”

b.      Pasal  4 ayat (1) UU No.  30 Tahun 1999 yang dikutip, sbb :

“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberi wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini TIDAK DIATUR dalam perjanjian mereka”

c.       Pasal 15 ayat 2 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional tersebut dikutip, sbb:

“Dalam menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan

Dari ketentuan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

a.       Arbiter dalam memutus perkara harus berdasarkan pada ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan maupun kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.      Arbiter dalam putusannya harus mempertimbangkan praktek kebiasaan bisnis yang terkait dengan pokok sengketa serta hak-hak dan kewajiban para pihak yang telah diatur dalam perjanjian.
c.       Arbiter hanya dapat memutus berdasarkan keadilan dan kepatutan yang menurut pendapat subjektif arbiter, apabila hal tersebut telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.

Oleh karena ketentuan tersebut secara tegas mewajibkan arbiter untuk memutus berdasarkan hukum, maka apabila dalam putusannya arbiter atau majelis arbiter memberikan pertimbangan hukum atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum dan membawa kerugian bagi salah satu pihak yanag bersengketa, maka menurut penulis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian maka arbiter atau majelis arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan alasan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata.


4.       Kesimpulan :
                                                                                  
Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh para pihak yang bersengketa terkait tindakannya selama memeriksa dan memutus sengketa arbitrase, sepanjang dapat dibuktikan adanya itikad buruk dan perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam putusannya yang bertentangan dengan hukum.








Selasa, 17 Februari 2015

ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA FORMIL (TINJAUAN HUKUM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID/PRAP/2015/PN JAK.SEL ANTARA KOMJEN POL. BUDI GUNAWAN VS KPK)

Tulisan ini didasarkan atas adanya pro kontra terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Komjen Pol. Budi Gunawan (Pemohon) atas penetapan tersangka dirinya oleh Komisi Pemberatntasan Korupsi (KPK). 

Hal yang secara khusus akan saya kaji dalam tulisan ini yakni salah satu pertimbangan hukum putusan tersebut yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya dikenal dalam hukum pidana materil sedangkan dalam hukum pidana formil tidak mengenal asas legalitas. 

Meskipun dalam teori hukum, terkait putusan hakim dikenal adanya asas hukum yang menyatakan bahwa res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar), namun dalam penulisan ini saya akan sedikit membahas secara singkat, tentang keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil berdasarkan peraturan dan doktrin yang berlaku.

1. Makna Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana berbunyi sebagai berkut “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Menurut Anselm von Feuerbach, kalimat tersebut bila diuraikan dalam tiga frasa, maka akan terdapat tiga makna yakni :
a. Nulla poena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang 
b. Nulla poena sine crimine yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana 
c. Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang 

2. Fungsi Asas Legalitas 
Berdasarkan ketiga frasa yang terkandung dalam dalam asas legalitas sebagaimana dikemukakan dalam poin 1 di atas, maka terdapat dua fungsi dari asas legalitas tersebut yakni :
a. Fungsi melindungi yang berarti bahwa undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; 
b. Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan; 

3. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Formil 
Keberlakuan asas legalitas dalam hukum pidana formil sebenarnya bersumber dari salah satu frasa yang merupakan makna dari asas legalitas sebagaimana dikemukan oleh Anselm von Feuerbach. Frasa tersebut yakni Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Frasa tersebut mewajibkan agar setiap proses penegakan hukum pidana harus berdasarkan pada ketentuan undang-undang sehingga tidak diperkenankan para penegak hukum untuk menyimpang dari ketentuan undang-undang. Hal tersebut sejalan dengan fungsi instrumental dari asas legalitas sebagaimana dijelaskan di atas. 

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, penegasan asas legalitas tersebut tidak hanya terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang merupakan hukum pidana materiil, melainkan terkandung juga dalam hukum pidana formil yakni dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang berbunyi “Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini” 

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 KUHAP tersebut, maka setiap proses penegakan hukum pidana sepanjang tidak diatur secara khusus dalam ketentuan lain, maka harus dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam ketentuan KUHAP. Hal mana merupakan perwujudan dari asas frasa Nullum crimen sine poena legali maupun perwujudan dari fungsi instrumental dari asas legalitas tersebut. 

Dengan demikian, maka terkait dengan pertimbangan Hakim dalam perkara praperadilan Komjen Pol. Budi Gunawan vs KPK yang pada pokoknya menyatakan bahwa asas legalitas hanya berlaku dalam hukum pidana materil, menurut saya sangat tidak tepat. 

Adapun oleh karena telah jelas bahwa asas legalitas berlaku juga dalam hukum pidana formil dalam hal ini KUHAP, sehingga ketentuan tentang objek praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP tidak dapat ditafsirkan lebih lanjut di luar ketentuan tersebut.

Minggu, 05 September 2010

Tinjauan Yuridis Kasus PT. Sarijaya Permana Sekuritas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pasar modal Indonesia dengan kegiatan jual-beli saham dan obligasi dimulai pada abad ke-19. Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Verreniging voor den Effectenhandel pada tahun 1939, jual beli efek telah berlangsung sejak 1880. Pada tanggal 14 Desember 1912, Amserdamse Effectenbueurs mendirikan cabang bursa efek di Batavia. Di tingkat Asia, bursa Batavia tersebut merupakan yang tertua ke-empat setelah Bombay, Hongkong, dan Tokyo.
Kegiatan jual-beli saham dan obligasi pada sekitar awal abad ke-19 tersebut diawali dari kegiatan pemerintah kolonial Belanda yang mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu sumber dana yang digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut adalah menggunakan dana dari para penabung yang telah dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung merupakan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi. Atas dasar itu kemudian pemerintahan kolonial mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka berdirilah secara resmi pasar modal di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember 1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek) dan langsung memulai perdagangan saat itu juga.
Awal berdirinya pasar modal di Indonesia (Batavia) hanya terdapat 13 anggota bursa yang aktif (lebih bersifat seperti makelar), antara lain :
1. Fa. Dunlop & Kolf;
2. Fa. Gijselman & Steup;
3. Fa. Monod & Co.;
4. Fa. Adree Witansi & Co.;
5. Fa. A.W. Deeleman;
6. Fa. H. Jul Joostensz;
7. Fa. Jeannette Walen;
8. Fa. Wiekert & V.D. Linden;
9. Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden;
10. Fa. Vermeys & Co;
11. Fa. Cruyff; dan
12. Fa. Gebroeders.
Sedangkan Efek yang diperjual-belikan, antara lain :
1. Saham dan obligasi perusahaan atau perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia;
2. Obligasi yang diterbitkan pemerintah (propinsi dan kotapraja);
3. Sertifikat saham perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda; dan
4. Efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga menarik masyarakat kota lainnya untuk bergabung. Untuk menampung minat tersebut, maka pemerintah kolonial juga resmi mendirikan bursa pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di kota Semarang. Anggota bursa di Surabaya pada waktu itu, antara lain :
1. Fa. Dunlop & Koff;
2. Fa. Gijselman & Steup;
3. Fa. V. Van Velsen;
4. Fa. Beaukkerk & Cop; dan
5. N. Koster.
Sedangkan anggota bursa di Semarang pada waktu itu, antara lain :
1. Fa. Dunlop & Koff;
2. Fa. Gijselman & Steup;
3. Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co; dan
4. Fa. P.H. Soeters & Co.
Perkembangan pasar modal di Indonesia pada waktu itu cukup menggembirakan. Hal tersebut terlihat dari nilai efek yang tercatat yang mencapai NIF 1,4 milyar (jika di indeks dengan harga beras yang disubsidi pada tahun 1982, nilainya adalah sekitar 7 triliun Rupiah) yang berasal dari 250 macam efek. Namun kondisi tersebut tidak dapat dipertahankan pada permulaan tahun 1939 ketika keadaan politik di Eropa sedang menghangat dengan semakin memuncaknya kekuasaan Adolf Hitler di Jerman dan sebagian wilayah Eropa. Melihat keadaan tersebut, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan perdagangan efeknya di Batavia dan menutup bursa efek di Surabaya dan Semarang. Kondisi tersebut juga tidak berlangsung lama, pada tanggal 17 Mei 1940 secara keseluruhan kegiatan perdagangan efek ditutup dan dikeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa semua efek-efek harus disimpan dalam bank yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda. Penutupan ketiga bursa efek tersebut sangat mengganggu likuiditas efek, menyulitkan para pemilik efek, dan berakibat pula pada penutupan kantor-kantor pialang serta pemutusan hubungan kerja. Selain itu juga mengakibatkan banyak perusahaan dan perseorangan enggan menanam modal di Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pecahnya Perang Dunia II menandai berakhirnya aktivitas pasar modal pada zaman penjajahan Belanda.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1950 pemerintah Indonesia mengeluarkan obligasi Republik Indonesia, hal tersebut menandakan mulai aktifnya pasar modal Indonesia. Pada tanggal 31 Juni 1952, bursa efek di Jakarta (pada zaman penjajahan merupakan bursa efek Batavia) dibuka kembali. Penyelenggaraan bursa tersebut kemudian diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-Efeknya (PPUE). Namun pada tahun 1958, terjadi kelesuan dan kemunduran perdagangan di bursa sebagai akibat konfrontasi pemerintah Indonesia dengan Belanda.
Pemerintahan di masa Orde Baru kemudian berusaha untuk mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap nilai mata uang Rupiah. Pemerintah melakukan persiapan khusus untuk membentuk pasar modal kembali. Pada tahun 1976, pemerintah membentuk Badan Pembina Pasar Modal (Bapepam) dan PT. Danareksa. Hal tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah untuk membentuk pasar uang dan pasar modal. Pada tanggal 10 Agustus 1977, berdasarkan Keppres RI No. 52 Tahun 1976, pasar modal diaktifkan kembali. Perkembangan pasar modal selama tahun 1977–1987 mengalami kelesuan. Pada tahun 1987-1988, pemerintah menerbitkan paket-paket deregulasi. Paket deregulasi ini, antara lain :
1. Paket Desember 1987 (Pakdes 87);
2. Paket Desember 1988 (Pakto 88); dan
3. Paket Desember 1988 (Pakdes 88).
Penerbitan paket deregulasi di atas menandai lahirnya liberalisasi ekonomi Indonesia. Dampak dari adanya ketiga kebijakan tersebut adalah pasar modal Indonesia menjadi aktif hingga sekarang.
Struktur pasar modal di Indonesia pada tingkat tertinggi berada pada Menteri Keuangan yang menunjuk Bapepam sebagai lembaga pemerintah yang melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan pasar modal. Sedangkan bursa efek bertindak sebagai pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli efek pihak lain dengan tujuan untuk memperdagangkan efek di antara mereka.
Marak dan rumitnya kegiatan pasar modal menuntut adanya perangkat hukum yang mengatur agar pasar dapat lebih teratur, adil, dan tidak merugikan para pihak. Dengan demikian, hukum pasar modal harus mengatur segala segi yang berkenaan dengan pasar modal. Di Indonesia, terdapat Undang-Undang Pasar Modal, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Menurut undang-undang tersebut, Bapapem diberi kewenangan sebagai pengawas dan memiliki otoritas penyelidikan serta penyidikan.
Aktivitas pasar modal Indonesia dewasa ini telah menjadi salah satu potensi perekonomian nasional dan memiliki peranan yang penting dalam menumbuh-kembangkan perekonomian nasional. Dukungan sektor swasta juga telah menjadi kekuatan nasional sebagai dinamisator aktivitas perekonomian nasional. Namun sayangnya, pasar modal di Indonesia masih didominasi oleh pemodal asing. Idealnya dalam pasar modal perlu ada keseimbangan antara pemodal asing dengan pemodal dalam negeri. Beberapa pihak di Indonesia juga masih menganalogikan pasar modal dengan arena judi, bukan sebagai sarana investasi, hal ini kemudian mengakibatkan peningkatan fluktuasi dan merugikan investor minoritas.
Indonesia dulu memiliki dua bursa efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan Bursa Efek Surabaya (BES), yang masing-masing dijalankan oleh perseroan terbatas. Pada September 2007, BEJ dan BES digabungkan (merger) menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI). Melalui merger ini diharapkan dapat makin memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan untuk bergabung dan meramaikan pasar modal Indonesia. Keuntungan yang diperoleh melalui penggabungan tersebut adalah, biaya pencatatan menjadi lebih murah, karena hanya mencatatkan saham secara single listing, sudah terakreditasi pada BEI. Sedangkan bagi anggota bursa, dengan menjadi anggota bursa atau pemegang saham BEI mereka dapat langsung menembus pasar. Bagi investor penggabungan ini menjadikan makin banyaknya pilihan investasi, karena tidak ada lagi pembedaan pasar BES dan BEJ, karena produk investasi ditawarkan dalam satu atap yaitu BEI.
Pembangunan nasional merupakan pencerminan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata. Di bidang ekonomi sasaran pembangunan jangka panjang kedua adalah terciptanya perekonomian yang mandiri dan handal, dalam rangka mencapai sasaran tersebut diperlukan berbagai sarana penunjang antara lain berupa tatanan hukum yang mendorong menggerakkan dan mengandalkan berbagai kegiatan pembangunan di bidang ekonomi, diantaranya adalah ketentuan di bidang pasar modal yang pada saat ini masih didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, dengan adanya peraturan tersebut diharapkan pasar modal Indonesia dapat berkembang dalam iklim yang lebih kondusif, artinya keberpihakan hukum itu tidak lain untuk melindungi kepentingan investor di pasar modal dari praktek curang dan kejahatan pasar modal pada umumnya.
Implementasi keberpihakan hukum atas kepentingan investor, pelaku pasar seperti emiten, perusahaan efek, dan pelaku pasar yang lain, wajib menjalankan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dalam segala aspek ekonomis yang berlangsung di pasar. Oleh karena itu peranan dari Bapepam sebagai satu-satunya lembaga otoritas di pasar modal menjadi sangat penting untuk memberikan efektifitas dalam pengawasan di bidang pasar modal.
Berdasarkan hal tersebut, maka berbagai masalah yang ada untuk kemudian diselesaikan salah satunya adalah, upaya-upaya apakah yang perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan investor dari pelanggaran dan kejahatan pasar modal di Indonesia?
Transaksi efek cukup rentan terhadap tindakan pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab serta hanya berorientasi pada keuntungan semata tanpa memperhatikan prinsip fairness dalam berbisnis. Untuk mengantisipasi adanya pelanggaran dan kejahatan tersebut, maka diperlukan pembaruan peraturan perundang-undangan dan ketegasan dalam penegakan hukum serta peningkatan fungsi pengawasan, karena keberadaan pasar modal yang didasarkan atas undang-undang yang baik diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, sehingga adanya kepastian hukum tidak lain adalah untuk melindungi kepentingan investor di pasar modal agar terhindar dari praktek curang dan kejahatan pasar modal pada umumnya. Selain itu pelaku pasar dalam bertransaksi juga wajib menjalankan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dalam segala aspek ekonomis yang berlangsung dipasar, dimana hal tersebut sangat dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan dalam berinvestasi.
Terkait dengan kejahatan di bidang pasar modal, pada awal tahun 2009 muncul dua berita ekonomi terhangat di Indonesia yang memuat informasi adanya bank terkenal dan broker saham di Indonesia yang melakukan penggelapan dana nasabahnya, yaitu kasus Bank Century dan Sarijaya Sekuritas. Kasus Bank Century bermula dari kalah kliringnya bank tersebut di Bank Indonesia. Karena Bank Century mengalami kesulitan likuiditas, pemerintah akhirnya mengambil alih Bank Century melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), walaupun masalah likuiditas merupakan hal yang wajar, terutama dalam krisis finansial, tetapi ada beberapa hal yang ditanyakan investor, termasuk kaitan dengan reksadana Antaboga dan lain-lain. Sedangkan kasus Sarijaya Sekuritas bermula dari tindakan penggelapan dana nasabah dengan cara pembuatan rekening gelap yang dilakukan untuk bertransaksi saham. Komisaris utama sekaligus pemiliknya adalah yang dituduh oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) sebagai dalang dibalik penggelapan ini.
Kasus penggelapan yang dilakukan oleh Bank Century dan Sarijaya Sekuritas telah merugikan konsumen serta menciderai kepercayaan nasabah bank dan investor di Indonesia, apalagi dalam keadaan sistem perbankan dan pasar saham global yang sedang terpuruk. Yang teramat sayang untuk dikatakan adalah bahwa Sarijaya Sekuritas merupakan salah satu broker besar yang dipercaya nasabah/investor selama ini. Bahkan dalam beberapa milis yang ada, Sarijaya Sekuritas merupakan broker yang cukup banyak direkomendasikan oleh para investor yang sudah terlebih dahulu berinvestasi di pasar saham.
Kasus Sarijaya Sekuritas (secara lebih lengkap disebut dengan PT. Sarijaya Permana Sekuritas) awalnya terjadi dari tindakan presiden komisaris dan pemilik tunggalnya yang secara ilegal menggunakan dana yang dimiliki oleh 8.700 nasabahnya sebesar 245 milyar Rupiah untuk membeli saham dan memberi pinjaman dana melalui 17 rekening baru yang fiktif. Pada intinya, dana nasabah yang seharusnya dibelikan saham sesuai instruksi para nasabah dan dicatat oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) justru digunakan oleh pemilik Sarijaya Sekuritas untuk melakukan transaksi pribadinya. Berikut juga muncul dugaan jika pemilik meminjamkan dana tersebut dengan jaminan saham. Hal tersebut kemudian berakibat panjang ketika pasar saham sedang terpuruk peminjam dana justru menunggak dan pemilik Sarijaya Sekuritas mengalami kerugian besar karena nilai saham yang dijamin merosot tajam.
Kasus penggelapan dana nasabah Sarijaya Sekuritas oleh komisaris utama sekaligus pemilik tunggalnya telah menghancurkan kepercayaan para investor lokal pasar modal terhadap perusahaan sekuritas. Jika kepercayaan para investor pasar modal sudah hancur, maka akan sangat sulit dan butuh waktu yang lama untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat untuk kembali berinvestasi di pasar modal. Karena kasus ini, para perusahaan sekuritas lain bekerja keras untuk meyakinkan para nasabahnya agar tetap berinvestasi dan tidak menarik dananya.
Terjadinya kasus Sarijaya Sekuritas sungguh disesalkan, karena hingga saat ini Bapepam dan otoritas bursa lainnya tengah berupaya keras mendorong perkembangan investor ritel lokal, dengan adanya kasus ini investor mudah pergi dari pasar modal. Perlu diingat juga bahwa komisaris utama sekaligus pemilik tunggal Sarijaya Sekuritas adalah orang yang sudah cukup lama di pasar modal, sehingga banyak pihak yang tidak menyangka dan menyesalkan kenapa yang bersangkutan melakukan hal tersebut.
Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) dan Bapepam-LK memiliki pendapat yang berbeda untuk kasus Sarijaya Sekuritas, apakah masuk kedalam kejahatan pasar modal atau pidana umum. Mabes Polri menyatakan bahwa kasus ini masuk kedalam kejahatan pasar modal sehingga perlu ditindak sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal. Sedangkan Bapepam-LK menganggap kasus ini bukan termasuk kejahatan pasar modal, melainkan pidana umum, yaitu penggelapan dan pencucian uang.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan dua permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah kasus sarijaya sekuritas termasuk dalam kejahatan di bidang pasar modal?
2. Bagaimanakah peran Bapepam-LK dalam menyelesaikan kasus Sarijaya Sekuritas?
















BAB II
PEMBAHASAN

A. BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
1. Rincian Tugas Bappepam Versi Undang-Undang Pasar Modal
Undang- undang Pasar Modal memformulasikan kedudukan dan fungsi Bappepam secara multi formasi, yaitu secara (1) pengaturan umum,(2) pengaturan terperinci,dan (3) pengaturan sporadis.
1. Pengaturan Umum
Secara umum, Undang undang Pasar Modal mengatur kewengan dan tugas Bapepam sebagai:
(a) Lembaga Pembina
(b) Lembaga Pengatur
(c) Lembaga Pengawas
Ketiga kewenangan tersebut haruslah dilaksanakan oleh Bapepam dengan tujuan terciptanya suatu asar modal yang:
(a) Teratur
(b) Wajar
(c) Efisien
(d) Melindungi kepentingan pemodal dan masyarakat
Sementara itu, pelaksanaan kewenangan Bapepam sebagai lembaga pengawas dapat dolakukan secara:
(a) Preventif, yakni dalam bentuk aturan, pedoman, bimbingan dan pengarahan, dan
(b) Represif, yalni dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan dan penerapa sanksi-sanksi.
Fungsi Bapepam sepeti tersebut apabila dapat dilaksanakan dengan benar, sebenarnya memang sudah sesuai dengan prinsip prinsip hukum pasar modal secara global. Sebab, dimana-mana yang namanya otoritas pasar modal, seperti juga SEC di USA itu, selalu mempunyai 3 fungsi utama yaitu :
(1) Fungsi Rule Making. Dalam hal ini otoritas pengawas dapat membuat aturan- aturan main untuk pasar modal.fungsinya seperti ini juga disebut fungsi Quasi Legislative Power. Jadi merupakan kewenangan legislative.
(2) Fungsi Adjudicatory. Ini merupakan fungsi otoritaspengawas untuk melakukan funfgsinya sebagai quasi judicial power.jadi meru[pakan kewenangaqn judicial seperti yang dilakuka oleh suatu badan peradilan. Termasuk ke dalam fungsi ini misalnya megadili dan memecat atau mencabut ijin ataupun melarang pihak-pihak tertentu di pasar modal untuk ikut berpartisipasi dalam keiatan-kegiatan pasar modal.
(3) Fungsi Investigatory- Enforcemant. Fungsi ini membuat otoritas pengawas mempunai wewenang investigasi dan enforcement. Dan ini dilakukan dengan memberikan kepada Bapepam kewenangan penyelidikan dan penyidikan, yang membuatnya menjadi semacam polisi khusus.
2. Pengaturan Terperinci
Pengaturan tentang kewenangaqn Bapepam secara terperinci dapat diketemukan dalam pasal 5 UUPM no.8 tahun 1995, yaitu sebagai berikut:
(1) Memberikan izin usaha kepada para pelaku pasar modal, dalam hal ini kepada :
a. Bursa Efek, Lembagfa Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyipanan dan Penyelesaian m, Reksa Dana, Perusahaan Efek, penasihat Investasi,dan Biro Administrasi Efek.
b. Izin orang perseorangan bagi wakil Penjamin Emisi Efek, Wkil Perantara,Pedagang Efek, dan Wakil Manajer Investasi.
c. Persetujuan bagi Bank Kustodian.
(2) Mewajibkan pendaftaran profesi penunjang pasar modal ( notaries,konsultan hukum,akuntan dan penilai) dan Wali Amanat.
(3) Menetapkan persyaratan dan ata cara pencalonan dan memberhentikan untuk sementara komisaris dan/atau direksiserta menunjuk manajemen sementara Bursa Efek, lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sampai dengan dipilihnya komisaris dan/atau direksi yang baru.
(4) Menentukan persyaratan dan prosedur pernyataan pendaftarn serta menyertakan , menunda ataumembatalkan efektifnya pernyataan pendaftaran.
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyelidkan terhadapsetia[p pihak dalam hal terjadinya peristiwa yang diduga merupakan pelanggaraqn terhadap UUPM atau peraturan perUU pelaksanaan lainnya.
(6) Mewajibkan setiap pihak yang bersangkutan untuk:
a. menghentikan aatau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan pasar modal: atau.
b. Mengambil langkah –langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang mnculdari iklan atau promrsi tersebut.
(7) Melakukan pemeriksaan terhadap:
a. setiap emiten atau perusahaan public yang telah atau diwajibkan menyampaikan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam.
b. Pihak yang dipersyaratkan mempunyai izin usaha. Izin orang perseorangan, persetujuan, atau pendaftaran profesi berdasarkan Undang undang ini.
(8) Menunjuk pihak lain untuk melakukan pemerksaan tertantu dalam rangka pelaksanaan wewenang Bapepam sebagaimana dimaksud dalam poin (7) tersebut di atas.
(9) Mengumumkan hasil pemeriksaan.
(10) Guna kepentingan pemodal, membatalkan dan membekukan pencatatan suatuefek pada suatu bursa efek atau menghentikan transaksi Bursa Efek tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(11) Menghentikan kegiatan perdagangan Bursa Efek untuk jangka waktu tertentu dalam hal keadaan darurat.
(12) Memeriksa keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksioleh Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta memberikan keputusan membatalkan atau menguatkan pengenaan sanksi dimaksud.
(13) Menetapkan biaya perijinan , persetujuan , pendaftaran, pemeriksaan dan penelitian serta biaya lain dalam rangfka kegiatan pasar modal.
(14) Melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakatsebagai akibat pelanggaran aas ketentuan dibidang pasar modal.
(15) Memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas perundang-undangan pasar modal.
(16) Menetapkan instrument lain sebagai efek selain dari Surat Pengakuan Utang, Surat Berharga Komersial, Saham, Obligasi, Tanda Bukti Utang,Unit Penyertaan Kontrak Investasi Kolektif,KOnrak Berjangka atas Efek, dan setiap Derivatif dari efek.
(17) Melakukan hal-hal lain yang diberikan berdasarkan UUPM.
Pengaturan Secara Sporadis
Selain kewenangan Bapepam seperti diatas, yaknibkewenangan yang bersifat umum dan kewenangan terperinci, masih ada lagi kewenangan Bapepam yang lainyang tersebar secara sporadisnbaik diberikan UUPM, yang pada prinsipnya merupakan penegasan atau pengejawantahanlebih lanjut dari kwewenangan Bapepam seperti yang telah disebutkan diatas.
2. Kewenangan Bapepam Sebagai Lembaga Pemeriksa
Sebagai salah satu bentuk konkretisasi dari peran Bapepam sebagai lembaga pengawas adalah kewenangan Bapepam untuk melakukan pemeriksaan. Yakni pemeriksaan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap UUPM. Atau seperti yang dijelaskan dalam PP No. 46 Tahun 1995 tentang tata cara pemeriksaan di Bidang Pasar Modal, bahwa yang dimaksud pemeriksaan adalah kegiatan mencari, mengumpulkan , damn mengolah data dan/atau keterangan lain yang dilakukan oleh pemeriksa untuk membuktikan ada atau tidaknya pelanggaran atas perundang-undangan di bidang pasar modal.
Maka dalam rangka pelaksanaan tugasnya selaku lembaga pemeriksa tersebut, Bapepam dapat melakukan hal-hal sebagai berikut:
(2) Meminta keterangan dan/atau konfirmasi dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap perundang-undangan di pasar modal atau pihak lain jika dianggap perlu;
(3) Mewajibkan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap perundang-undangan di bidang pasar modal untuk melakukan atau tidak melakukan kegiatan tertentu.
(4) Memeriksa dan/atau membuat salinan terhadap catatan , pembukuan , dan/atau dokumen lain, baik milik pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam peelanggaran perundang-undangan di bidang pasar modal, ataupun pihak lain jika dianggap perlu.
(5) Menentukan syarat dan/atau mengizinkan pihakyang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap perundang-undangan di pasar modal untuk melakukan tindakan tertentu yang diperlukan dalam rangka penyelesaian kerugian yang timbul.
Suatu pemeriksaan oleh Bapepam baru dapat dilakukan jika:
(a) Terdapat laporan, pemberitahuan atau pengaduan dari pihak tertentu tentang adanya pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(b) Tidak dipenuhinya kewajiban yang harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memperoleh perizinan, persetujuan atau pendaftaran dari Bapepam atau pihak lain yang dipersyaratkan untuk menyampaikan laporan kepada Bapepam , atau
(c) Terdapat petunjuk tentang terjadinya pelanggaran atas perundan-undangan di bidang pasar modal.
Dalam melakukan pemeriksaan , haruslah dipenuhi norma-norma yang disebut dengan norma pemeriksaan , yang terdiri dari (1) norma pemeriksa yang menyangkut dengan pemeriksa,(2) norma pemeriksaan yang menyangkut dengan pelaksanaan pemeriksaan,(3) norma pemeriksaan yang menyangkut dengan pera pihak yang diperiksa.
3. Kewenangan Bapepam Sebagai Penyidik
Salah satu kewenangan Bapepam yang cukup spektakuler dan fantastis adalah kewenangan untuk melakukan penyidikan di pasar modal. Kewenangan penyidikan ini juga merupakan pengejawantahan dari peran Bapepam sebagai suatu lembaga pengawas. Kewenangan penyidikan ini dapat digunakan oleh Bapepam apabila menurut pendapatnya telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang di bidang apasar modal, yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan pasar modal atau kepentingan masyarakat.
Maka , dalam hal ini, sesuai dalam keentuan KUHAP, oleh Undang-undang Pasar Modal dibereikanlah wewenang khusus sebagai penyidik terhadap pejabat pegawai negeri tertentu di lingkungan Bapepam. Mereka inilah yang dalam praktek sering disebut Polisi Khusus (Polsus), yang memang dimungkinkan oleh KUHAP. Pasal 6 ayat (1) hurup b dari KUHAP menentukan bahwa pejabat pegawai negeri sipil tertentu dapat diberi wewenang khusus oleh unfdang-undang untuk menjadi penyidik.
Kedudukan dan kewenangannya sebagai lembaga penyidik bukanlah “terusan” dari kedudukannya sebagai lembaga pemeriksa, melainkan merupakan kewenangan yang mandiri., karena itu, dapat saja Bapepam langsung menggunakan kewenangan penyidikan (jika ada alas an untuk itu) tanpa harus sebelumnya melakukan tindakan yang tergolong kedalam kewenangan pemeriksaan.
Selanjutnya , kewenangan penyidikan dari Bapepam ini dapat di perincikan sebagai berikut:
(1) Menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya trindak pidana di bidang pasar modal.
(2) Melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana dibidang pasar modal
(3) Melakukan penelitian terhaqdap pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang pasar modal
(4) Memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari setiap pihak yang disangka melakukan , atau sebagai saksi dalam tindak pidana dibidang pasar modal.
(5) Melakukan pemeriksaan atas pembukuan , catatan, dan dokumenlain berkenaan dengan tindak pidana dibidang pasar modal.
(6) Melakukan pemeriksaan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan , pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan barang bukti dalam perkara pidana di bidang pasar modal.
(7) Memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari pihak yang diduga melakukan atau terlibat tindak pidana di bidang pasar modal.
(8) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang pasar modal.
(9) Menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
(10) Mengajukan permohonan ijin kepada meteri untuk memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan dari tersangka pada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.
(11) Memberitahukan dimulainya penyidikan dan penyampaian hasil penyidikan kepada penuntut umu sesuai dengan KUHAP.
(12) Meminta bantuan aparat penegak hukum lainnya.



B. LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN (LKP) DAN LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN (LPP)
1. LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN (LKP)
Menurut Pasal 1 angka 8 Undang - Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM), Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kiring dan penyelesaian Transaksi Bursa. berdasarkan UUPM maka PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) didirikan untuk menyediakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian transaksi bursa yang teratur, wajar dan efisien.
KPEI didirikan sebagai perseroan terbatas berdasarkan akte pendirian No. 8 tanggal 5 Agustus 1996 di Jakarta oleh PT Bursa Efek Indonesia dengan kepemilikan 100% dari total saham pendiri senilai Rp 15 miliar. KPEI memperoleh status sebagai badan hukum pada tanggal 24 September 1996 dengan pengesahan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Pada tanggal 1 Juni 1998, KPEI mendapat izin usaha sebagai LKP berdasarkan Surat Keputusan Bapepam No. Kep-26/PM/1998. (www.kpei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).
Adapun ruang lingkup kegiatan KPEI adalah sebagai berikut ;
4. Ruang Lingkup Kegiatan Kliring
a. Melaksanakan kegiatan kliring atas semua transaksi Bursa untuk produk Ekuitas, Derivatif dan Obligasi pada Bursa Efek di Indonesia.
b. Melaksanakan proses penentuan hak dan kewajiban Anggota Klirng yang timbul di Transaksi Bursa
4. Ruang Lingkup Kegiatan Penjaminan
a. Melaksanakan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa untuk produk ekuitas dan produk derivatif.
b. Memberikan kepastian dipenuhinya hak dan kewajiban bagi Anggota Kliring yang timbul dari transaksi bursa. (www.kpei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).
Sekilas tentang Layanan KPEI
1. Jasa Kliring Transaksi Bursa
KPEI sebagai mitra pengimbang sentral (central counterparty) dalam kegiatan kliring dan penyelesaian transaksi terhadap lebih dari 120 perusahaan Efek yang terdaftar di Bursa, berkewajiban untuk menerapkan standard-standard internasional dalam proses otomatisasi proses kliring dan penyelesaian transaksi bursa. Dengan demikian proses kliring, penyelesaian transaksi, dan penjaminan dapat berjalan dengan lebih wajar, teratur, efisien sehingga dapat meminimisasi risiko penyelesaian transaksi bursa baik saham maupun derivatif.
Proses kliring adalah suatu proses penentuan hak dan kewajiban Anggota Kliring yang timbul dari Transaksi Efek yang dilakukannya di Bursa Efek dengan agar masing-masing Anggota Kliring mengetahui hak dan kewajiban baik berupa Efek maupun uang yang harus diselesaikan pada tanggal penyelesaian Transaksi Bursa.
2. Jasa Penjaminan
KPEI menyediakan jasa penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa bagi Anggota Kliring yang bertransaksi di BEI. Jasa penjaminan adalah jasa untuk memberikan kepastian dipenuhinya hak dan kewajiban Anggota Kliring yang timbul dari Transaksi Bursa. Dengan kata lain fungsi penjaminan bertujuan memberi kepastian terselenggaranya Transaksi Bursa bagi Anggota Kliring yang sudah memenuhi kewajibannya, kepastian waktu penyelesaian, penurunan frekuensi kegagalan penyelesaian transaksi, dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan investor untuk bertransaksi di pasar modal Indonesia.
Dalam fungsi penjaminan, KPEI bertindak sebagai mitra pengimbang / lawan (counterparty) bagi seluruh Anggota Kliring yang bertransaksi di Bursa. Hal tersebut dimungkinkan dengan kliring secara netting dengan novasi, sehingga masing-masing Anggota Kliring hanya berhubungan dengan KPEI dalam penyelesaian Transaksi Bursanya. Dengan demikian risiko dari masing-masing Anggota Kliring diserap oleh KPEI sehingga tidak menimbulkan gangguan lebih jauh terhadap pasar.
Penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa adalah kewajiban KPEI untuk seketika dan langsung mengambil alih tanggung jawab Anggota Kliring yang gagal memenuhi kewajiban yang terkait dengan Transaksi Bursa yang dilakukannya. KPEI wajib menyelesaikan setiap kegagalan Anggota Kliring dalam melakukan transaksi Bursa.
Melalui sistem e-CLEARS(r) (Electronic Clearing & Guarantee System) dan ARMS (Automated Risk Monitoring System), KPEI mengendalikan risiko-risiko yang berpotensi mengakibatkan kegagalan Transaksi Bursa.Adapun kegiatan pengendalian risiko yang dilakukan oleh KPEI tersebut meliputi:
1. Pemantauan Profil Risiko Keanggotaan
2. Pemantauan Modal Kerja Bersih disesuaikan (MKBD)
3. Penilaian & Pemantauan Agunan
4. Penentuan & Pemantauan Pembatasan Perdagangan (Trading Limit)
5. Pengelolaan Dana Jaminan
Jasa Pinjam Meminjam Efek
Hal ini bertujuan membantu Anggota Kliring untuk memenuhi kebutuhan Efek sementara untuk menghindari terjadinya kegagalan penyelesaian Transaksi Bursa.
4. Jasa Terkait Pasar Modal Lain
Sesuai dengan ketentuan di dalam UUPM, KPEI dapat menawarkan jasa lain di lingkungan pasar modal. (www.kpei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).


2. LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN (LPP)
Pasal 1 angka 10 UU PM memberikan pengertian bahwa LPP adalah pihak yang meyelenggarakan kegiata Kustodian sentral bagi Bank Kustodian, Perusahaan Efek, dan Pihak Lain. PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) didirikan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 1997 dan pada tanggal 11 November 1998 KSEI memperoleh izin usaha sebagai Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Sesuai dengan ketentuan UUPM, KSEI berfungsi untuk menyediakan jasa kustodian sentral dan penyelesaian transaksi Efek yang teratur, wajar, dan efisien. Pengertian Kustodian sendiri secara Otentik ditafsirkan oleh Pasal 1 angka 8 UUPM, yang menyebutkan bahwa Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. (www.ksei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).
Hingga 31 Desember 2007, saham KSEI dimiliki oleh Bank Kustodian sebesar 36%, Perusahaan Efek 33,5%, SRO (BEI dan KPEI) sebanyak 26,5%, dan Biro Administrasi Efek 4%. Bersama-sama dengan Bursa Efek serta Lembaga Kliring dan Penjaminan, sejak 17 Juli 2000 KSEI berhasil melakukan terobosan baru dengan mengimplementasikan perdagangan Efek tanpa warkat (scripless trading) di pasar modal Indonesia. Scripless trading ini sangat bermanfaat bagi para pelaku pasar modal, antara lain: meningkatkan faktor keamanan, mengurangi beban penyelesaian transaksi, mengurangi biaya dan mempermudah serta mempercepat pendistribusian corporate action. Selain itu, untuk menciptakan efisiensi di pasar modal dan mengantisipasi perkembangan pasar modal yang sangat dinamis, KSEI memperkenalkan The Central Depository and Book Entry Settlement System atau lebih dikenal dengan C-BEST. Sistem ini merupakan platform elektronik terpadu yang mendukung penyimpanan Efek tanpa warkat dan penyelesaian transaksi Efek secara pemindahbukuan di pasar modal Indonesia. Melalui peranan C-BEST, KSEI bersama-sama dengan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) menjadi bagian dari suatu tatanan komprehensif dan terpadu yang berfungsi sebagai lembaga yang memberikan fasilitas untuk transaksi Efek yang transparan, efisien dan andal. (www.ksei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).
Dalam transaksi keuangan, dikenal jargon technology creates its own market, yang diartikan bahwa teknologi dalam pasar modal memegang peranan penting. Sebagai salah satu fasilitator dalam aktivitas di pasar modal Indonesia, manajemen KSEI senantiasa melakukan pengembangan teknologi terhadap sektor ini. Sejak diluncurkan pada bulan Juli 2000, total aset yang tercatat di C-BEST (data per 31 Desember 2007) sebesar Rp 1.298,25 triliun. Untuk mendukung layanan jasa KSEI yang semakin variatif, KSEI juga terus melakukan pengembangan dan penyempurnaan terhadap sistem teknologi informasi. Misalnya, implementasi Real Time Straight Through Processing Connection. Melalui fasilitas ini, C-BEST mampu berkomunikasi secara host to host connection dengan sistem back office Pemegang Rekening. Sehingga, keterlibatan manusia dalam pengiriman dan penerimaan message akan semakin berkurang. Rencana implementasi The Central Fund Settlement System (C-TRUST) juga tidak lepas dari fokus KSEI. Melalui sistem ini, proses transaksi Reksa Dana bisa dilakukan dengan cepat, aman dan efisien. (www.ksei.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2010).
Mekanisme Transaksi Efek di Bursa (Bahan Kuliah Mata Kuliah Hukum Pasar Modal Prof. Nindyo Pramono)



Perusahaan Efek
Bank Kustodian
Perusahaan Efek
Bank Kustodian








3. STRUKTUR KELEMBAGAAN PASAR MODAL
berdasarkan UU no. 8 Tahun 1995, PP No. 45 Tahun 1995, dan Kep. Menkeu No. 654 Tahun 1995 ( M. Irsan Nasarudin, dkk. 2008 : 114)




LPP (KSEI) Bursa Efek Indonesia
LKP (KPEI)
Perusahaan Efek
Penjamin Emisi
(under writer) Perantara/ Pedagang
(broker) Manajer Investasi
(Investment Manajer)
Profesi Penunjang Lembaga Penunjang
Akuntan, Notaris, Penilai, Konsultan Hukum, Penasehat Investasi Kustodian, Badan Administrasi Efek, Penanggung, Pemeringkat Efek, Wali Amanat













C. KEJAHATAN DI BIDANG PASAR MODAL
Kejahatan di bidang pasar modal adalah kejahatan yang khas dilakukan oleh pelaku pasar modal dalam kegiatan pasar modal. Pemerintah Indonesia melalui Bapepam berupaya keras untuk mengatasi dan mencegah kejahatan di bidang pasar modal dengan berbagai cara, antara lain dengan menertibkan dan membina pelaku pasar modal sebagai tindakan preventif, dan menuntaskan kejahatan di bidang pasar modal sebagai tindakan represif. Tugas yang diemban Bapepam sangat berat, oleh karena itu Bapepam diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, pemeriksaan, penyidikan, sampai meneruskan penuntutan kepada kejaksaan atas dugaan terjadinya kejahatan. Untuk kasus pelanggaran, Bapepam memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan, penyidikan, sampai pemberian sanksi administratif.
Pedoman melakukan kegiatan di bidang pasar modal diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Undang-undang tersebut menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 yang menetapkan berlakunya Undang-Undang Darurat Nomor 13 Tahun 1951 sebagai Undang-Undang. Undang-Undang Darurat tersebut diganti karena materinya sangat sumir dan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengembangan pasar modal dewasa ini.
Persoalan terjadinya kejahatan dan pelanggaran di pasar modal diasumsikan berdasarkan beberapa alasan, antara lain: kesalahan pelaku, kelemahan aparat yang mencakup integritas dan profesionalisme, serta kelemahan peraturan. Bapepam berkewajiban untuk selalu melakukan penelaahan hukum yang menyangkut perlindungan dan penegakan hukum yang semakin penting. Dikatakan penting karena, lembaga pasar modal merupakan lembaga kepercayaan, yaitu sebagai lembaga perantara (intermediary) yang menghubungkan kepentingan pemakai dana dan para pemilik dana. Dengan demikian perangkat perundang-undangan yang mengatur mengenai pasar modal diharapkan dapat memberi kontribusi positif bagi penegakan hukum di dalam memberi jaminan dan kepastian hukum kepada pelaku pasar modal.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 telah menggariskan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, seperti penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Selain menetapkan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 juga menetapkan sanksi pidana denda dan penjara/kurungan bagi para pelaku dengan jumlah atau waktu yang bervariasi. Tindak pidana dibidang pasar modal memiliki karekteristik yang khas, yaitu barang yang menjadi obyek adalah informasi, selain itu pelaku tindak pidana tidak mengandalkan kemampuan fisik, tetapi kemampuan untuk memahami dan membaca situasi pasar untuk kepentingan pribadi. Pembuktian tindak pidana pasar modal juga sangat sulit, namun akibat yang ditimbulkan dapat fatal dan luas. Jenis-jenis tindak pidana yang dikenal dibidang pasar modal, antara lain:
1. Penipuan
Penipuan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 90 huruf c, adalah: membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan memengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.
Larangan tersebut ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam perdagangan efek, bahkan turut serta melakukan penipuan pun tak lepas dari jerat pasal ini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378 tentang penipuan, disebutkan bahwa penipuan adalah tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara:
(1) Melawan hukum;
(2) Memakai nama palsu atau martabat palsu;
(3) Tipu muslihat;
(4) Rangkaian kebohongan;
(5) Membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang.
Terkait dengan pengertian KUHP tentang penipuan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 juga memberikan beberapa spesifikasi mengenai pengertian penipuan, yaitu terbatas dalam kegiatan perdagangan efek yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan efek yang terjadi dalam rangka penawaran umum, atau terjadi di bursa efek maupun diluar bursa atas efek emiten atau perusahaan publik. Mengenai pengertian tipu muslihat atau rangkaian kebohongan sebagaimana ditentukan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 menegaskan bahwa hal tersebut termasuk membuat pernyataan yang tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta yang material.
2. Manipulasi Pasar
Manipulasi pasar menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Pasal 91 adalah, tindakan yang dilakukan oleh setiap pihak secara langsung maupun tidak dengan maksud untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di bursa efek. Otoritas pasar modal mengantisipasi setiap pihak yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam hal modal dan teknologi atau sarana yang kemungkinan bisa melakukan penggambaran sedemikian rupa sehingga pasar memahami dan merespon gambaran tersebut sebagai suatu hal yang benar. Beberapa pola manipulasi pasar, antara lain:
(1) Menyebarkan informasi palsu mengenai emiten dengan tujuan mempengaruhi harga efek perusahaan yang dimaksud di bursa efek (false information). Misalnya, suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten A akan segera dilikuidasi, pasar merespon kemudian harga efeknya jatuh tajam di bursa;
(2) Menyebarkan informasi yang menyesatkan atau tidak lengkap (misinformation). Misalnya, suatu pihak menyebarkan rumor bahwa emiten B tidak termasuk perusahaan yang akan dilikuidasi oleh pemerintah, padahal emiten B termasuk yang diambil alih oleh pemerintah.
Harga efek di pasar modal sangat sensitif terhadap suatu peristiwa dan informasi yang berkaitan, baik secara langsung maupun tidak dengan efek tersebut. Informasi merupakan pedoman pokok para pemodal untuk mengambil keputusan terhadap suatu efek. Jika informasi tersebut tidak dilindungi oleh hukum sebagai informasi yang benar, bagaimana kegiatan perdaganyan pasar modal bisa berjalan? Informasi yang dihembuskan oleh pihak tertentu dapat menimbulkan dampak pada pasar, akibatnya harga efek bisa naik atau turun. Begitu telah ada konfirmasi bahwa informasi itu benar, maka gejolak pasar akan berhenti dan berjalan normal kembali.
Transaksi yang dapat menimbulkan gambaran semu adalah transaksi efek yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan atau penawaran jual/beli efek pada harga tertentu dimana pihak tertentu telah bersekongkol dengan pihak lain yang melakukan penawaran jual/beli efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama. Motif dari manipulasi pasar antara lain untuk meningkatkan, menurunkan, atau mempertahankan harga efek. Dalam praktik perdagangan efek internasional dikenal beberapa kegiatan yang dapat digolongkan sebagai manipulasi pasar, yaitu:
(1) Marking the Close
Marking the close adalah, merekayasa harga permintaan atau penawaran efek pada saat atau mendekati penutupan perdagangan dengan tujuan membentuk harga efek atau harga pembukaan yang lebih tinggi pada hari berikutnya.
(2) Painting the Tape
Painting the tape adalah, kegiatan perdagangan antara rekening efek satu dengan rekening efek lain yang masih berada dalam penguasaan satu pihak atau memiliki keterkaitan sedemikian rupa sehingga tercipta perdagangan semu. Pada dasarnya painting the tape mirip dengan marking the close, namun dapat dilakukan setiap saat.
(3) Pembentukan harga berkaitan dengan merger, konsolidasi, atau akuisisi
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa, pemegang saham yang tidak menyetujui rencana merger, konsolidasi, atau akuisisi berhak meminta kepada perseroan untuk membeli saham dengan harga yang wajar. Pemegang saham dapat memanfaatkan ketentuan ini untuk kepentingan pribadi melalui tindakan manipulasi pasar.
(4) Cornering the Market
Cornering the market adalah, membeli efek dalam jumlah yang besar sehingga dapat menguasai atau menyudutkan pasar. Praktiknya dapat dilakukan dengan short selling, yaitu menjual efek dimana pihak penjual belum memiliki efeknya. Hal ini dapat dilakukan karena bursa efek menetapkan jangka waktu penyelesaian transaksi T+3 (penjual wajib menyerahkan efeknya pada hari ke-3 setelah transaksi). Jika penjual gagal menyerahkan efek pada T+3, maka yang bersangkutan harus membeli efek tersebut di pasar tunai yang biasanya lebih mahal dari harga di pasar regular. Pelaku dapat mengambil keuntungan dari situasi tersebut dengan melakukan cornering the market, yaitu membeli dalam jumlah besar efek tertentu dan menahannya sehingga akan banyak penjual yang mengalami gagal serah efek dan terpaksa membeli di pasar tunai yang sudah dikuasai oleh pelaku.
(5) Pools
Pools merupakan penghimpunan dana dalam jumlah besar oleh sekelompok investor dimana dana tersebut dikelola oleh broker atau seseorang yang memahami kondisi pasar. Manager dari pools tersebut membeli saham suatu perusahaan dan menjualnya kepada anggota kelompok investor tersebut untuk mendorong frekuansi jual-beli efek sehingga dapat meningkatkan harga efek tersebut.
(6) Wash Sales
Order beli dan jual antara anggota asosiasi dilakukan pada saat yang sama dimana tidak terjadi perubahan kepemilikan manfaat atas efek. Manipulasi tersebut dilakukan dengan maksud bahwa mereka membuat gambaran dari aktivitas pasar dimana tidak terjadi penjualan atau pembelian yang sesungguhnya.
(7) Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)
Pelaku perdagangan orang dalam dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: pihak pertama yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak dari emiten atau perusahaan publik atau disebut juga pihak yang berada dalam fiduciary position, dan pihak kedua yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (disebut juga tippees).
Pihak yang termasuk golongan pertama, antara lain: komisaris, direktur, pegawai, pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik, orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesi atau hubungan usahanya dengan emiten memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam.
Kemungkinan terjadinya perdagangan dengan menggunakan informasi orang dalam dapat dideteksi dari ada atau tidaknya orang dalam yang melakukan transaksi atas efek perusahaan dimana yang bersangkutan menjadi orang dalam. Selain itu dapat pula dideteksi dari adanya peningkatan harga dan volume perdagangan efek sebelum diumumkanya informasi material kepada publik terkait dengan terjadinya peningkatan atau penurunan perdagangan yang tidak wajar. Perdagangan orang dalam memiliki beberapa unsur, antara lain:
a. Adanya perdagangan efek;
b. Dilakukan oleh orang dalam perusahaan;
c. Adanya inside information;
d. Informasi itu belum diungkap dan dibuka untuk umum;
e. Perdagangan dimotivasi oleh informasi itu;
f. Bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
Kasus perdagangan orang dalam diidentikkan dengan kasus pencurian, bedanya bila pada pencurian konvensional yang menjadi obyek adalah materi milik orang lain, maka pada perdagangan orang dalam obyek pencurian tetap milik orang lain tapi dengan menggunakan informasi yang seharusnya milik umum, sehingga pelaku memperoleh keuntungan dari tindakannya. Pada pencurian konvensional yang menderita kerugian adalah pihak pemilik barang, sedangkan pada kasus perdagangan orang dalam, yang menderita kerugian begitu banyak dan luas, mulai dari lawan transaksi hingga kepada pudarnya kewibawaan regulator dan kredibilitas pasar modal. Kalau kredibilitas pudar, maka kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal juga akan pudar.


D. Kasus Posisi
Terdakwa Herman Ramli bersama dua Direksi PT Sarijaya Permana Sekuritas dianggap penuntut umum telah melakukan tindak pidana penggelapan/penipuan, dan pencucian uang. Akibat ulah ketiga terdakwa, 13.074 nasabah menderita kerugian sebesar Rp. 235,6 milyar.
Berawal dari perbuatan Herman yang secara bertahap memerintahkan stafnya, Setya Ananda, untuk mencari nasabah nominee pada tahun 2002. Sampai tahun 2008, sudah terhimpun 17 nasabah nominee yang sebagian besar adalah pegawai grup perusahaan Sarijaya. Kemudian, dibukakanlah ketujuhbelas nasabah nominee ini rekening.

Rekening itu digunakan Herman untuk melakukan transaksi jual/beli saham di bursa efek. Namun, karena dana dalam rekening 17 nasabah nominee ini tidak mencukupi untuk melakukan transaksi, maka Herman meminta Lanny Setiono (stafnya) untuk menaikkan batas transaksi atau Trading Available (TA). Lalu, Lanny menindak-lanjutinya dengan memerintahkan bagian informasi dan teknologi (IT) untuk memproses kenaikan TA 17 nasabah nominee tersebut.

Tapi, untuk menaikkan TA, sebelumnya harus mendapat persetujuan dari para direksi Sarijaya, yaitu Teguh, Zulfian, dan Yusuf Ramli, Direktur Utama Sarijaya. Walau mengetahui dana yang terdapat pada rekening ketujubelas nasabah nominee tidak mencukupi, para direksi tetap memberikan persetujuan untuk menaikkan TA. Sehingga, Herman dapat melakukan transaksi jual/beli saham di bursa efek. Padahal, transaksi yang dilakukan Herman, tanpa sepengetahuan atau order dari para nasabah.

Selama kurang lebih enam tahun, Herman melakukan transaksi jual/beli saham dengan menggunakan rekening ketujuhbelas nasabah nominee. Dan untuk membayar transaksi itu, Herman medebet dana 13074 nasabah yang tersimpan di main account Sarijaya
Apabila diakumulasikan, pemilik 60 persen saham perusahaan sekuritas (Sarijaya) ini telah mempergunakan dana sekitar Rp214,4 miliar, termasuk di dalamnya modal perusahaan sebesar Rp5,77 miliar. Oleh karena itu, Herman dianggap telah melakukan tindak pidana penggelapan/penipuan, dan pencucian uang yang merugikan 13074 nasabah Sarijaya sekitar Rp235,6 miliar.
Mabes Polri dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mempunyai pendapat yang berbeda untuk kasus ini. Polri menyatakan kasus Sarijaya masuk dalam ranah pasar modal, dan perlu ditindak sesuai dengan UU Pasar Modal.
Sedangkan Bapepam-LK menganggap kasus ini bukan pelanggaran pasar modal, melainkan kategori pidana umum, yakni penggelapan dan pencucian uang.

E. Analisa Hukum Atas Kasus Posisi
Dari Kasus Posisi diatas maka adapun fakta hukum yang bisa disimpulkan yakni :
1. Adanya 17 Rekenening Fiktif yang terdapat di PT. Sarijaya Permana Sekuritas
2. 17 Rekenaing Fiktif itu dibuka oleh Herman Ramli sebagai Komisaris PT Sarijaya Permana Sekuritas dan sebagai pemegang saham terbesar
3. Dana yang dimasukan dalam 17 rekening fiktif itu berasal dari dana nasabah PT Sarijaya Permana Sekuritas dengan cara mendebet 13074 rekening nasabah
4. Adanya perintah dari Herman Ramli kepada stafnya untuk menaikkan batas transaksi agar bisa melakukan transaksi
5. Adanya persetujuan dari direksi untuk menaikkan batas tarnsaksi tersebut
Permasalahan yang muncul dalam kasus PT Sarjaya Permana Sekuritas ini yakni bahwa oleh BAPEPAM-LK dianggap sebagai kejahatan Pidana Umum dan bukan kajahatan pasar modal sehingga kasus ini diserahkan kepada pihak kepolisian untuk melakukan penyidikan. Dari kenyataan diatas maka alangkah baiknya jika permasalahan PT Sarijaya Permana Sekuritas ini coba kami tinjau dari sudut pandang Undang-Undang Pasar Modal khususnya yang menyangkut Kejahatan Pasar Modal.
Seperti diutarakan sebelumnya bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 telah menggariskan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, seperti penipuan, manipulasi pasar, dan perdagangan orang dalam. Selain menetapkan jenis-jenis tindak pidana dibidang pasar modal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 juga menetapkan sanksi pidana denda dan penjara/kurungan bagi para pelaku dengan jumlah atau waktu yang bervariasi.
Dari beberapa jenis kejahatan pasar modal sebagaimana diutarakan diatas maka jika kita hubungkan dengan kasus yang dialami oleh PT Sarijaya Permana Sekuritas maka akan lebih mengarah ke kejahatan pasar moda yang berupa penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 90 Undang-Undang nomor 8 Tahun 1995 yang isinya atara lain :
Dalam kegiatan perdagangan Efek, setiap Pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung:
a. menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun;
b. turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan
c. membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.
Namun seperti kita ketahui dalam sistem pembuktian pidana maka suatu kejahatn atau tindak pidana dapat terbukti jika memenuhi unsur-unsur pidana selain itu mengingat jika dikaji maka pasal ini merupakan delik materiil maka perlu untuk dijelaskan unsur-unsur pidana ang terkandung dalam pasal 90 tersebut. Menurut hemat kami maka ada beberpa unsur dalam pasal 90 diatas yakni :
1. Unsur Kegiatan Perdagangan Efek
Dalam penjelasan pasal 90 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan “kegiatan perdagangan Efek” dalam Pasal ini adalah kegiatan yangmeliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan atau penjualan Efek yang terjadi dalam rangkaPenawaran Umum, atau terjadi di Bursa Efek, maupun kegiatan penawaran, pembelian dan ataupenjualan Efek di luar Bursa Efek atas Efek Emiten atau Perusahaan Publik
2. Unsur Setiap Pihak
Yang dimaksud dengan pihak dalam undang-undang pasar modal khususnya pasal 1 angka 23 yakni orang perseorangan, perusahaan usaha bersama, asosiasi atau keompok terorganisasi.
3. Unsur menipu atau mengelabui pihak lain
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 378 tentang penipuan, disebutkan bahwa penipuan adalah tindakan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara:
(6) Melawan hukum;
(7) Memakai nama palsu atau martabat palsu;
(8) Tipu muslihat;
(9) Rangkaian kebohongan;
(10) Membujuk orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang atau menghapuskan piutang.
Selain pengertian penipuan dalam pasal 378 KUHP, adapun oleh beberapa ahli yang memberikan pendapatnya bahwa yang dimaksud dengan penipuan di bidang pasar modal yakni sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c yakni membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material atau tidak mengungkapkan fakta material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan memengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek.
4. Unsur dengan menggunakan cara atau sarana apapun
Cara yang dimaksudkan jalan untuk melakukan sesuatu sedangkan sarana yang dimaksudkan yakni segala sesuatu yg dapat dipakai sbg alat dl mencapai maksud atau tujuan

Dari unsur-unsur pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 maka akan kita analisa lebih lanjut dihubungkan dengan fakta hukum yang terdapat dalam kasus PT Sarijaya Permana Sekuritas yakni :
1. Unsur Kegiatan Perdagangan Efek
Unsur kegiatan perdagangan efek yang terjadi dalam kasus PT Sarijaya Permana Sekuritas yakni Tindakan Herman Remli sebagai komsaris PT Sarijaya Permana Sekuritas yang melakukan transaksi efek baik penjualan maupun pembelian efek dengan menggunakan dana nasabah yang didebet dalam 17 rekening fiktif. Dengan demikian unsur kegiatan perdagangan efek telah terbukti
2. Unsur setiap pihak
Unsur setiap pihak yang dimaksudkan dalam kasus ini yakni Herman Ramli sebagai orang perorangan. dengan demikian unsur setiap pihak telah terbukti
3. Unsur menipu atau mengelabui pihak lain
Unsur menipu atau mengelabui pihak lain yakni membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta material yang berupa 17 rekening fiktif dan melakukan transaksi saham untuk dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Pihak-pihak lain yang ditipu yakni BAPEPAM-LK sebagai pengawas maupun Para SRO dan pihak nasabah sendiri yang dananya telah didebet pada 17 Rekening Fiktif tersebut. Dengan demikian nsur menipu atau mengelabui pihak lain telah terbukti.
4. Unsur menggunakan cara atau sarana apapun
Adapun cara yang digunakan Herman Ramli untuk melakukan tindak pidana pasar modal ini yakni dengan membuka 17 rekening fiktif dan mendebet dana 13074 rekening nasabah PT sarijaya permana sekuritas dan menaikkan batas transaksi untuk dapat melakukan transaksi sebagaimana mestinya.
Selain itu Herman Ramli juga menggunakan sarana yakni memanfaatkan jabatannya sebagai komisaris dan pemegang saham terbesar pada PT. Sarijaya Permana Sekuritas untuk memerintahkan stafnya menaikkan batas transaksi dan meminta direksi untuk menyetujui penaikkan batas transaksi tersebut. Dengan demikian unsur menggunakan cara atau sarana apapun telah terbukti.

Sebagai salah satu bentuk konkretisasi dari peran Bapepam sebagai lembaga pengawas adalah kewenangan Bapepam untuk melakukan pemeriksaan. Yakni pemeriksaan terhadap setiap pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap UUPM. Dalam kasus PT. Sarijaya Permana Sekuritas indikasi kejahatan yang dilakukan oleh komisaris Herman Ramli sehingga peran bapepam harus diawali dengan melakukan tindakan pemeriksaan berupa meminta konfirmasi dari pihak pihak terkait yag diduga melakukan pelanggaran terhadap undang-undang pasar modal dan peraturan pelaksananya selanjutnya dari tahap itu dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni penyidikan, jika berkas penyidikan telah lengkap maka bisa dilimpahkan kepada kejaksaan untuk melakukan penuntutan.

























BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan diatas yakni :
1. Bahwa Kasus PT. Sarijaya Permana Sekuritas dapat dikategorikan sebagai kejahatan pasar modal yakni penipuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995.
2. Bahwa Peran Bapepam-LK dalam penyelesaian kasus ini yakni harus melakukan tindakan pemeriksaan dan penyidikan serta memberikan sanksi administratif.

B. Saran
1. Bahwa dalam kasus PT Sarijaya Permana Sekuritas ini Bapepam-LK bisa berkoordinasi dengan pihak kepolisian maupun SRO (LPP, LKP, dan Bursa Efek Indonesia), namun kewenangan pemeriksaan dan penyidikan tetap berada pada Bapepam-LK.
2. Bahwa Bapepam-LK seharusnya bisa melakukan pengawasan yang lebih ketat mengingat kejahatan yang dilakukan oleh komisaris PT Sarijaya Permana Sekuritas telah berlangsung lama namun baru diketahui akhir tahun 2008.












DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
Nasarudin, et all, 2008, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Kencana, Jakarta

B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995, tentang Pasar Modal.

C. Internet
www.bapepam.go.id
www.bphn.go.id,
www.kabarindonesia.com
www.ksei.com
www.vibizdaily.com