1. Latar Belakang
Tulisan ini didasarkan pada
pengalaman saya dalam membela klien saya yang merasa dirugikan akibat tindakan
Majelis Arbiter yang memeriksa dan memutus sengketa di salah satu lembaga
arbitrase. Dalam mengadili perkara tersebut Majelis Arbiter diduga beritikad
buruk dengan menolak melakukan pemeriksaan lokasi objek sengketa serta
mejatuhkan putusan dengan pertimbangan yang bertentangan satu sama lain dan
pertimbangan yang bertentangan dengan hukum.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
kasus tersebut, maka permasalahan hukum yang akan coba saya kaji dalam tulisan
ini adalah apakah Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan
pertanggungjawaban hukum terkait dengan tindakannya selama memeriksa dan
memutus sengketa arbitrase ?
3. Pembahasan
Ketentuan umum yang mengatur tentang penyelesaian sengketa melalui
arabitrase di Indonesia yakni
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengket (selanjutnya
disebut “UU No. 30 Tahun 1999”).
Terkait dengan hubungan hukum antara arbiter dan para pihak yang
bersenketa serta kewajiban arbiter, telah ditentukan dalam Pasal 17 UU No. 30
Tahun 1999, yang dikutip, sbb :
“1. Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau
beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diteriamnya penunjukan
tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter, maka antara pihak yang
menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan, terjadi perjanjian perdata.
2. Penunjukan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan bahwa arbiter atau para
arbiter akan memberikan putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku dan para pihak
akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang diperjanjikan
bersama”
Dari ketentuan Pasal 17 tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa :
a.
Hubungan hukum antara arbiter dan pihak yang
bersengketa yakni bersifat keperdataan karena arbiter tersebut dipilih dan
ditunjuk oleh para pihak. Hal mana berbeda dengan hakim yang merupakan pejabat Negara
yang menjalankan kekuasaan kehakiman dan berada di bawah Mahkamah Agung (vide
Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009)
b.
Hubungan keperdataan tersebut menimbulkan
kewajiban bagi arbiter agar memberikan putusannya secara jujur, adil dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Terkait dengan pertanggungjawaban hukum arbiter atas segala tindakan yang
diambil selama persidangan dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter, telah
ditentukan dalam Pasal 21 UU No. 30 Tahun 1999 tersebut dikuti sbb :
“Arbiter atau majelis arbitrase tidak
dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil
selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai
arbiter atau majelis arbitrase, kecuali
dapat dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”
Berdasarkan Pasal 21 tersebut, maka disimpulkan bahwa pada prinsipnya
Arbiter atau Majelis Arbiter tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban hukum
apapun selama menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbiter.
Meskipun demikian, frase “kecuali dapat dibuktikan
adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut” sebagaimana tercantum dalam ketentuan tersebut, memberikan kesempatan
kepada para pihak yang bersengketa untuk dapat mengajukan tuntutan hukum
apabila arbiter tersebut beritikad buruk dalam menjalankan fungsinya sebagai
arbiter.
Dalam penjelasan
Pasal 21 UU No. 30 tersebut, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut mengenai
bentuk dari itikad buruk tersebut itikad buruk, namun pengertian itikad buruk (bad
faith) dapat kita temukan dalam Black’s Law
Dictionary Seventh Edition, halaman 134, yang sebagai berikut:
“A complete
catalogue of types of bad faith is impossible, but the following types are
among thouse which have been recognized in judicial decisions: evasion of the
spirit of the bargain lack of diligence and slacking off, willful rendering of imperfect performance, …dst”
Berdasarkan Black’s Law Dictionary tersebut maka salah
satu bentuk itikad buruk (bad faith),
adalah “willful rendering of imperfect
performance” atau sengaja bertindak secara tidak professional (terjemahan
bebas).
Bentuk dari tindakan arbiter yang tidak professional
menurut penulis yakni diantaranya :
a.
Tidak melaksanakan
tindakan yang sepatutnya dilakukan guna mencari kebenaran atas pokok
permasalahan yang disengketakan seperti melakukan sidang pemeriksaan lokasi;
b.
Membuat pertimbangan
hukum yang bertentangan satu sama lain dalam putusannya;
c.
Memutus tidak
berdasarkan bukti-bukti yang diajukan para pihak.
Bahwa adapun sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1365 KUHPerdata juga
memberikan kewenangan kepada setiap orang untuk mengajukan tuntutan hukum
terhadap pihak lain akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan pihak lain
tersebut. Kualifikasi perbuatan melawan hukum
berdasarkan yurisprudensi dan doktrin yakni tidak hanya terbatas pada pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan, melainkan lebih daripada itu (vide
Setiawan dalam Rosa Agustina, Perbuatan
Melawan Hukum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2003,
halaman 28), yakni:
a. Melanggar hak subjektif orang lain;
b.
Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku
c. Melanggar kaedah tata susila;
d. Bertentangan dengan kaedah kesusilaan
dan kepatutan dalam masyarakat.
Oleh karena tindakan seseorang yang bertentangan dengan kewajibannya,
dapat dikategorikan sebagai bentuk perbuatan melawan hukum sehingga apabila
tindakan tersebut membawa kerugian kepada pihak lainnya, maka memungkinkan
pihak yang dirugikan tersebut untuk mengajukan tuntutan hukum.
Dalam kaitannya dengan tindakan arbiter, maka sebagaimana diuraikan
diatas bahwa Pasal 17 UU No. 30 Tahun 1999 memberikan kewajiban hukum kepada
arbiter untuk memutus sengketa para pihak secara jujur, adil dan sesuai
ketentuan yang berlaku. Kewajiban arbiter tersebut juga tercantum dalam
ketentuan, sbb :
a.
Pasal 56 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 yang antara
lain dikutip sbb :
“Dalam hal
Arbitrase tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan
dan kepatutan, maka hanya dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum
materiil sebagaimana dilakukan oleh hakim”
b.
Pasal 4 ayat
(1) UU No. 30 Tahun 1999 yang dikutip,
sbb :
“Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa
diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberi wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya
mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini TIDAK DIATUR dalam
perjanjian mereka”
c.
Pasal 15 ayat 2 Peraturan Prosedur Badan Arbitrase
Nasional tersebut dikutip, sbb:
“Dalam
menerapkan hukum yang berlaku, Majelis harus mempertimbangkan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan yang
relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan
Dari ketentuan Ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa :
a.
Arbiter dalam memutus perkara harus berdasarkan
pada ketentuan yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan maupun
kesepakatan atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
b.
Arbiter dalam putusannya harus mempertimbangkan
praktek kebiasaan bisnis yang terkait dengan pokok sengketa serta hak-hak dan
kewajiban para pihak yang telah diatur dalam perjanjian.
c.
Arbiter hanya dapat memutus berdasarkan keadilan
dan kepatutan yang menurut pendapat subjektif arbiter, apabila hal tersebut
telah disepakati oleh para pihak yang bersengketa.
Oleh karena ketentuan tersebut
secara tegas mewajibkan arbiter untuk memutus berdasarkan hukum, maka apabila
dalam putusannya arbiter atau majelis arbiter memberikan pertimbangan hukum
atau menjatuhkan putusan yang bertentangan dengan hukum dan membawa kerugian
bagi salah satu pihak yanag bersengketa, maka menurut penulis hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Dengan demikian maka
arbiter atau majelis arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dengan
alasan adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1365
KUHPerdata.
4. Kesimpulan :
Arbiter atau Majelis Arbiter dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum oleh
para pihak yang bersengketa terkait tindakannya selama memeriksa dan memutus
sengketa arbitrase, sepanjang dapat dibuktikan adanya itikad buruk dan
perbuatan melawan hukum yang tercermin dalam putusannya yang bertentangan
dengan hukum.